Kamis, 31 Januari 2013

Menyelaraskan Idealis dengan Realis


MAHASISWA idealis, itulah yang selama ini selalu digembar-gemborkan dan ditanamkan pada diri setiap mahasiswa. Idealisme menjadi paham yang dipandang perlu bahkan wajib dimiliki setiap mahasiswa sebagai kaum yang ‘dianggap’ intelek, di mana masyarakat menaruh ekspektasi yang besar kepada para mahasiswa untuk melakukan perubahan yang lebih baik bagi negeri kita tercinta, Indonesia.
Namun apakah hanya idealisme saja yang wajib dimiliki mahasiswa untuk perubahan yang lebih baik tersebut? Tentu saja tidak, bukan hanya idealisme yang harus dimiliki mahasiswa dan mahasiswi Indonesia untuk membangun negeri ini ke arah yang lebih baik dan maju. Lalu, jika bukan hanya idealisme apalagi yang wajib dipegang sebagai prinsip hidup oleh para mahasiswa dan mahasiswi untuk mengubah negeri ini ke arah yang lebih baik? Jawabannya adalah sikap realistis, sikap yang sering dipandang negatif dari kacamata mahasiswa, sikap yang mengikuti arus dan jauh dari sebuah idealisme.
Memang, kita  tidak pernah mendengar para pemimpin-pemimpin besar yang lahir dan merubah dunia berangkat dari pemikiran-pemikiran mereka yang realis, para pemimpin besar tersebut merubah dunia dengan berpegang teguh pada idealisme mereka. Namun, sebagai suatu pandangan yang dapat dilihat dari berbagai perspektif tidak selamanya menjadi idealis itu baik, dan tidak selamanya menjadi menjadi realistis itu buruk atau pun sebaliknya (menjadi idealis itu buruk, dan menjadi realistis itu baik).
Idealis dan realis mempunyai kebaikan dan kekurangannya masing-masing. Dengan mempertahankan idealisme mahasiswa akan dianggap sempurna, dengan menjadi idealis mahasiswa akan berpegang teguh pada pendirian dan cita-citanya. Namun, terlalu idealis juga mendorong mahasiswa bersikap ambisius dan tidak mau kalah, serta sulit menerima kenyataan, ketika apa yang diharapkan tidak sesuai dengan apa yang dicita-citakan.
Dalam keadaan tersebut, ketika apa yang dicita-citakan tidak sesuai dengan kenyataan atau realitas yang terjadi, yang harus ada dalam diri adalah sikap realistis karena dengan realistis kita akan belajar untuk menerima apa adanya lingkungan kita, dan kita akan mudah beradaptasi dan berdamai dengan lingkungan kita, serta rasa syukur kita akan selalu terlimpahkan pada Tuhan Yang Maha Esa. Seperti halnya menjadi idealis, menjadi realistis juga mempunyai sisi buruknya, terkadang menjadi realistis membuat kita menjadi orang yang cenderung kurang motivasi dan apatis.
Kita terjebak dalam paradigma kita sendiri yang memandang bahwa idealis dan realistis sabagai suatu prinsip yang kontradiktif. Padahal jika dilihat dari suatu sudut pandang yang lebih terbuka sebenarnya cita-cita yang berangkat dari pemikiran atau paham idealis akan terwujud bila dibarengi dengan sikap yang realistis. Misalnya saja, ketika seseorang yang idealis gagal mewujudkan cita-citanya untuk melakukan perubahan yang dapat membangun negeri ini ke arah yang lebih baik, jika dibarengi dengan sikap yang realistis kegagalan tersebut tentu akan disikapi dengan tenang dan bijak dan ia akan menerima dan berdamai dengan realita yang terjadi, ketika seseorang sudah menerima dan berdamai dengan realita tentu yang akan muncul adalah fikiran-fikiran positif yang tentu akan berdampak positif pula.
Idealisme dan realisme mempunyai sisi baik dan buruknya masing-masing. Keduanya tidak kontradiktif, karena bila disandingkan bersama idealisme dan realisme berada dalam satu harmoni dan saling melengkapi. Sebagai mahasiswa tentu kita memahami bagaimana mengambil sikap atas keduanya, karena mahasiswa pastilah paham tentang persoalan mana yang dianggap baik dan mana yang dianggap buruk, mana yang dianggap benar dan mana yang dianggap salah, serta mana yang dianggap indah dan mana yang dianggap jelek. Tinggal kita saja sebagai mahasiswa yang pandai-pandai untuk mengambil hal-hal positif yang ada diantara keduanya.
“Look closer and you’ll see, idealistic and realistic is a harmony.”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar