Kamis, 06 November 2014

Pengertian pajak dan contoh kasus

PAJAK

I.PENDAHULUAN

i)        Pengertian Pajak
Definisi pajak menurut Undang-Undang Nomor 16 tahun 2009 tentang perubahan keempat atas Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan pada Pasal 1 ayat 1 berbunyi pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH dalam bukunya Mardiasmo (2011 : 1) :
Pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan
Undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada
mendapat jasa timbal (kontra Prestasi) yang langsung dapat
ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran
umum.

Menurut Prof. Dr. A. Adriani dalam bukunya Waluyo, (2009  : 2) :
Pajak adalah iuran masyarakat pada negara (yang sifatnya dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan umum (undang-undang) dengan tidak mendapat prestasi kembali yang dapat ditunjuk dan yang digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung tugas-tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa pajak adalah iuran kepada
Negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib
membayarnya menurut peraturan-peraturan dan tidak mendapatkan
prestasi-prestasi kembali yang secara langsung dapat ditunjuk.

ii)      Ciri – Ciri Pajak
(1)   Pajak dipungut berdasarkan Undang-Undang.
(2)   Tidak ada timbal jasa (Kontraprestasi) secara langsung.
(3)   Dapat dipaksakan.
(4)   Hasilnya untuk membiayai pembangunan.
iii)    Fungsi Pajak
Pajak merupakan sumber penerimaan negara yang mempunyai dua fungsi (Mardiasmo 2011 : 1), yaitu :
(1)   Fungsi anggaran (budgetair) sebagai sumber dana bagi pemerintah, untuk membiayai pengeluaran-pengeluarannya.
(2)   Fungsi mengatur (regulerend) sebagai alat pengatur atau melaksanakan perintah dalam bidang sosial ekonomi.

iv)    Sistem Pemungutan Pajak
Sistem pemungutan pajak dapat dibagi menjadi tiga sistem (Mardiasmo, 2011 : 7), yaitu :
(1)   Official Assessment system
Adalah suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang
kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak
yang terutang oleh Wajib Pajak.
(2)   Self Assessment System
Adalah suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang
sepenuhnya kepada Wajib Pajak untuk menghitung,
memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri
besarnya pajak yang terutang.
(3)   With Holding System
Adalah suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang
kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan Wajib Pajak yang
bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang
oleh Wajib Pajak.

II.PEMBAHASAN
Contoh Kasus :
TEMPO.CO, Jakarta - Berulangnya kasus penggelapan pajak menandakan sistem pengawasan di tingkat institusi masih lemah. “Yang harusnya dibenahi bukan oknumnya, tapi pembenahan sistemnya, karena kasusnya sudah sistemik,” kata Pengamat kebijakan publik dari Universitas Indonesia Adrinof Chaniago saat dihubungi oleh Tempo, Minggu 26 Februari 2012.
Sebelumnya, Kejaksanaan Agung telah menetapkan Dhana Widyatmika sebagai tersangka dalam kasus rekening gendut PNS. Kasus ini merupakan pengembangan dari hasil temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) tentang adanya pegawai negeri sipil yang disebut-sebut melakukan transaksi mencurigakan senilai US$ 250 ribu (Rp 2,25 miliar). Belakangan diketahui pegawai negeri yang dimaksudkan bekerja sebagai pegawai pajak.
Menurut Adrinof, Dirjen Pajak dan Bea Cukai memang potensial menjadi ajang rawan penyelewengan. “Sistem pengawasan internalnya harus lebih ketat,” katanya. Ia membenarkan bahwa kedua direktorat tersebut memang dapat menjadi 'lahan basah' bagi para pegawainya.
Disisi lain, kasus yang muncul akhir-akhir ini sebenarnya justru lebih banyak dipengaruhi oleh kelalaian individu. “Godaannya besar sekali untuk melakukan penyelewengan,” ujarnya. Ia menyarankan agar perbaikan sistem terhadap kedua direktorat itu segera dilakukan. Perbaikan itu juga harus dibarengi dengan reformasi birokrasi.
Kasus Dhana Widyatmika, menurut Adrinof, besar kemungkinannya terkait penyalahgunaan wewenang untuk memperoleh imbalan. “Ini terjadi karena faktor individu.”
Ia menilai, dalam satu dekade terakhir,proses rekrutmen di Kementerian Keuangan sudah berlangsung cukup baik. “Sepuluh tahun terakhir sudah jauh lebih baik,” katanya. Namun ia mengingatkan, pengawasan internal di institusi tersebut harus diperkuat.

III.KESIMPULAN
Dari kasus penggelapan pajak diatas yang melibatkan Dhana Widyatmika menunjukkan betapa rendahnya kesadaran sebagai wajib pajak yang seharusnya taat aturan dalam membayar pajak. Mereka hanya mementingkan dan mengedepankan tujuan dan kemakmuran perusahaan belaka. Padahal dengan taat aturan membayar pajak, dapat membawa manfaat atau dampak positif yang sangat besar bagi kesejahteraan masyarakat dan pembangunan di Indonesia.
Penulis berharap sistem pengawasannya dapat diperketat agar tidak ada lagi pajak yang bocor dan diselewengkannya pajak tersebut dan berharap semoga kedepannya para wajib pajak baik itu perorangan maupun badan, taat dalam membayar pajak sehingga tidak merugikan negara dan bangsa Indonesia. Bukan hanya para wajib pajak saja yang harus taat membayar pajak, para aparat-aparat pajak pun juga harus jujur dalam memeriksa dan mengawasi sistem perpajakan di Indonesia.

IV.            DAFTAR PUSTAKA
http://eprints.uny.ac.id/7889/3/BAB%202-09409134015.pdf
http://pajak.com/index.php?option=com_content&task=view&id=9640&Itemid=48
http://www.pajak.go.id/content/article/melalui-pajak-kita-membangun-negeri
https://id.berita.yahoo.com/kasus-penggelapan-pajak-sudah-sistemik-001101885.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar